Denny Indrayana: Pakar Hukum yang Meragukan Usulan Hak Angket Kecurangan Pilpres 2024

23/02/2024 By sukaitu@gmail.com 0

RedaksiBali.com – Sosok pakar hukum, Denny Indrayana, menjadi sorotan publik setelah mengemukakan pendapatnya terkait usulan hak angket terkait dugaan kecurangan dalam Pilpres 2024 yang diajukan oleh Ganjar Pranowo. Dalam keterangannya, mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tersebut mengekspresikan keraguan terhadap pelaksanaan hak angket terkait Pilpres 2024.

Denny Indrayana lahir pada tanggal 11 Desember 1972 dan memiliki latar belakang yang cukup cemerlang dalam bidang hukum. Ia adalah seorang aktivis, akademisi, dan praktisi hukum yang telah berkontribusi dalam berbagai jabatan penting di Indonesia dan Australia. Sebelumnya, Denny pernah menjabat sebagai Staf Khusus Presiden dalam bidang Hukum, HAM, dan Pemberantasan Korupsi, serta sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara di Universitas Gadjah Mada. Selain itu, ia juga aktif sebagai penulis dan pendiri berbagai organisasi yang fokus pada pemantauan hukum dan pemberantasan korupsi.

Dengan latar belakang pendidikan yang solid, Denny Indrayana telah menulis sepuluh buku terkait isu hukum tata negara dan korupsi, serta mendirikan firma hukum Indrayana Centre for Government Constitution and Society (INTEGRITY) yang berbasis di Jakarta.

Namun, dalam konteks hak angket terkait Pilpres 2024, Denny mengungkapkan keraguan yang mendasar. Menurutnya, secara hukum, hak angket merupakan hak konstitusional Parlemen yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar. Namun, secara politik, pelaksanaannya bisa menjadi sulit terutama mengingat kekuatan mayoritas yang dimiliki oleh pihak tertentu di DPR.

Baca juga ….

Denny menjelaskan bahwa untuk mengusulkan hak angket, dibutuhkan persetujuan dua pertiga anggota DPR. Dalam situasi di mana mayoritas parlemen sudah dikuasai oleh satu pihak dengan kekuatan yang begitu besar, pelaksanaan hak angket menjadi sulit untuk direalisasikan. Belum lagi, proses pengajuan dan persidangan hak angket sendiri memerlukan waktu yang cukup panjang. Hal ini membuat Denny skeptis terhadap kemungkinan hak angket tersebut dapat menjadi alat yang efektif dalam mengawasi dugaan kecurangan dalam Pilpres 2024.

Selain itu, Denny juga menyoroti bahwa hak angket lebih cocok digunakan dalam konteks jangka menengah atau panjang, bukan untuk mengubah hasil pemilihan umum secara langsung. Hak angket dapat menjadi sarana untuk merekomendasikan perubahan aturan dan kebijakan di masa mendatang, bukan untuk mengadili pelaku kecurangan secara langsung.

Dengan demikian, pandangan Denny Indrayana memberikan perspektif yang penting dalam diskusi tentang efektivitas penggunaan hak angket dalam mengawasi proses demokrasi di Indonesia, khususnya dalam konteks pemilu yang menjadi fokus perhatian publik.