Fenomena Dedolarisasi: Negara-negara Meninggalkan Dolar AS

12/12/2023 By sukaitu@gmail.com 0

RedaksiBali.com – Di tengah gejolak ekonomi global yang dihantui perang, inflasi, serta tingginya suku bunga, terdapat fenomena yang menarik perhatian banyak negara. Fenomena tersebut adalah dedolarisasi, yaitu upaya negara-negara untuk mengurangi penggunaan dolar AS dalam transaksi ekonomi mereka. Keperkasaan dolar AS yang telah berlangsung selama lebih dari 100 tahun pun terancam karena semakin banyak negara yang ingin terlepas dari “penjajahan” greenback.

Data dari Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan bahwa cadangan devisa global yang berdenominasi dolar AS telah mengalami penurunan yang signifikan. Pada tahun 2000, persentase cadangan devisa global yang berdenominasi dolar AS mencapai 71%, namun pada tahun 2022, persentasenya turun menjadi 58,36%. Jumlah cadangan devisa di seluruh dunia pada akhir 2022 mencapai US$ 11,09 triliun, dan dari jumlah tersebut, mata uang berdenominasi dolar AS mencapai US$ 6,47 triliun.

Di bawah dolar AS, terdapat beberapa mata uang lain yang mulai mendapatkan perhatian sebagai alternatif. Salah satunya adalah euro, yang memiliki persentase share sebesar 20,47%. Selain itu, yen Jepang (5,51%) dan poundsterling (4,95%) juga menjadi pilihan negara-negara dalam menyimpan cadangan devisa mereka.

Beberapa negara telah mengambil langkah untuk meninggalkan penggunaan dolar AS dan beralih ke mata uang lain. Salah satunya adalah China, yang telah memperkenalkan Renminbi sebagai alternatif untuk transaksi internasional. China juga meluncurkan inisiatif The Belt and Road Initiative, yang bertujuan untuk memperkuat penggunaan Renminbi dalam perdagangan internasional. Selain itu, Uni Emirat Arab (UEA) juga telah mengumumkan rencana untuk meningkatkan penggunaan euro dalam transaksi mereka.

baca juga

AHY Beruntung Tinggalkan Koalisi Anies: Antara Nasib Partai dan Kemenangan Pilpres

Pidato Penutup Prabowo Subianto dalam Debat Capres Ke-5

Demi Kemanusiaan, Jusuf Kalla (JK) Tegaskan Indonesia sebaiknya Menerima Pengungsi Rohingya

Percepat Pembangunan Proyek IKN Nusantara, Konstruksi Pelat Merah Capai 40 Persen

Salah satu alasan utama di balik fenomena dedolarisasi ini adalah kekhawatiran terhadap volatilitas dan ketidakpastian yang terkait dengan dolar AS. Perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat dan China, serta kebijakan moneter yang tidak konsisten dari Federal Reserve, telah menyebabkan ketidakstabilan dalam nilai tukar dolar AS.

Di samping itu, negara-negara juga ingin mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS karena adanya risiko sanksi ekonomi dari Amerika Serikat. Dalam beberapa tahun terakhir, Amerika Serikat telah menggunakan kekuatan dolar AS sebagai alat untuk memberlakukan sanksi terhadap negara-negara yang dianggap melanggar kebijakan internasional.

Perubahan ini juga dapat dilihat dalam skala regional, seperti di BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan). Negara-negara BRICS telah sepakat untuk menggunakan mata uang lokal dalam transaksi antara mereka, yang dikenal sebagai Local Currency Transaction (LCT). Langkah ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS dan meningkatkan kerja sama ekonomi di antara negara-negara BRICS.

Meskipun fenomena dedolarisasi ini belum sepenuhnya mengancam dominasi dolar AS, namun pergeseran ini menunjukkan adanya keinginan dan upaya negara-negara untuk mencari alternatif dalam sistem keuangan global. Dalam beberapa tahun ke depan, akan menarik untuk melihat bagaimana perubahan ini akan berdampak pada kekuatan dan peran dolar AS dalam perekonomian dunia.

Video